Kamis, Januari 08, 2009

Ikhlas
By adiez


Hari itu aku bertemu sahabat lamaku.
Kami duduk berdua disebuah café tempat orang-orang biasa meminum secangkir kopi dan larut dalam dunianya masing-masing.
Awalnya kami berdua bertemu untuk sekedar melepas kangen karena ia saat ini tinggal disebuah kota yang berjarak 1 jam perjalanan menggunakan pesawat. Tiga hari yang lalu ia meneleponku dan bilang ia ingin menemuiku.
Ya begitulah, kami berpelukan, mengobrol tentang kenangan masa lalu saat kami masih bersama-sama tinggal dikota ini. Kami bercerita tentang semuanya. Tentang kehidupannya, tentang kehidupanku. Tentang keluarganya. Tentang keluargaku. Aku menceritakan tentang keluarga kecilku. Bagaimana bahagianya aku dengan suamiku yang meskipun sering keluar kota namun tetap memperhatikan aku dan putri semata wayang kami. Dan ia yang sampai saat ini masih melajang terdiam mendengar semua ceritaku. Dalam hati aku berkata, mungkin karena ia belum pernah mengalaminya.
Dua cangkir kopi dan sepiring tiramisu telah menemani kami yang telah sekitar dua jam berada disini.
Ia bercerita. Tentang masalah yang selama ini mengganjal dihatinya.
Ia bilang, saat ini ia sedang hamil 3 bulan.
Aku kaget. Karena setahuku ia belum menikah.
“emang udah berapa lama kamu nikah? Kok aku nggak pernah dikasih tahu.”
“aku belum nikah nes… aku hamil diluar nikah. Dan sekarang aku bingung harus ngomong apa kekamu.”
Aku juga bingung. Kenapa ia harus hamil diluar nikah? Sesuatu hal yang sama sekali diluar akal sehat dan imanku.
Apakah ia dan pacarnya tidak disetujui keluarganya?
Apakah mereka berdua tidak sengaja melakukannya?
Ataukah melakukan “itu” memang sudah menjadi kebiasaan hidupnya?
“Kamu udah ngasih tahu pacar kamu?”
“sudah, nes. Tapi dia seakan mau lepas tanggung jawab. ”
“kok gitu? Emang kalian nggak disetujui sama keluarga dia?”
“bukan itu masalahnya, nes. Dia udah punya istri.”
Ya Tuhan, ia jadi selingkuhan pria beristri. Sahabat yang aku kenal sejak lama sekarang menjadi tipe wanita yang aku benci. Tapi aku bisa apa? Jalan hidup manusia tidak ada yang akan pernah sama.
Dia mulai bercerita tentang pertemuan pertama mereka di yogya 5 bulan yang lalu. Ia bercerita tentang pria itu. Ia bercerita tentang perasaannya pada pria itu.
Ia bercerita tentang semua kebiasaan pria itu. Ia bercerita tentang semuanya yang ternyata tidak seluruhnya.

Sejenak aku berpikir, apakah aku kenal dengan pria itu? Dan aku bertanya padanya.
Wajahnya memucat. Sejenak ia terdiam dan terlihat mengatur nafas dalam-dalam.
“ini yang mau aku omongin sama kamu.”
Aku semakin bingung. Ada apa? Apa hubungannya denganku? Apakah kerabatku diyogya yang melakukannya?
“sebentar, aku mau tanya sama kamu? Apa kamu mencintai pacarmu itu? Kalau iya, kamu harus minta pertanggung jawabannya. Dia harus nikahin kamu donk.”
“iya nes. Aku cinta sama dia. Tapi aku nggak mungkin nikah sama dia.”
“kenapa? Karena istrinya nggak ngasih ijin?”
“bukan, dia belum berani bilang keistrinya. Makanya aku yang mau ungkapin semua ini keistrinya. Siapa tahu istrinya rela kalo suaminya nikah sama aku.”
Mana ada wanita yang ingin dimadu? Kalaupun iya pasti dia wanita yang sangat tegar. Seperti ibuku.
“jadi kamu minta tolong aku untuk ngomong keistrinya?”
ia menangis. Pertama sesenggukan, kemudian makin keras.
Aku bingung, aku harus apa?
Aku peluk dia. “ya udah aku bantuin ngomong ya. Tapi jangan nangis terus donk. Aku akan minta istrinya untuk mengikhlaskan suaminya menikah lagi sama kamu. Karena anak ini tanggung jawab dia.”
Ia makin menangis, samapai air matanya habis dan terisak-isak.
Ia melepaskan pelukanku.
“nes, istri pacarku itu kamu!!!”
saat itu aku tiba-tiba kehilangan arti dari kata ‘mengikhlaskan’.
Begitu mudah ucapkan kata itu saat bukan kita yang mengalaminya.
Dan aku bukan manusia sesempurna dan setegar ibuku yang bisa mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain.
Dan wanita ini sahabatku.

Tidak ada komentar: